Kamis, 15 Oktober 2020

Pendakian Gunung Sumbing, tanpa drama (part 2)

 

Gunung Sumbing

Terminal

Jumat, sore ini kami berkumpul di terminal Cicaheum, Bandung. Seperti kesepakatan yang telah kami sepakati di beberapa malam sebelumnya, kami akan berkumpul di terminal ini setengah 5 sore. Karena bis akan mulai berangkat jam 5 sore.

Jam 4 lebih 15 menit saya berangkat dari kantor, ceritanya nebeng karena beberapa karyawan ada yang pulang melewati terminal ini. Sekitar setengah 5 sore kurang beberapa menit saya tiba di lokasi, tak lama dari itu Samsul pun sudah menyusul ke dalam terminal. Pertanyaan yang sama saling terlontar, “mana yang lain?”

Berhubung masih setengah 5, kami masih cukup santai untuk menunggu kehadiran 2 rekan kami lainnya. Sesekali kami coba chat lewat whatsapp bahkan telp, seruannya masih sama, “di jalan!” hal ini yang dari awal mendasari saya kenapa perjalanan ini tak ingin ada drama di dalamnya. Karena satu keterlambatan, akan merembet merepotkan yang lainnya.

Bis pun berangkat jam 5 sore lebih sedikit, kabar terakhir Widi dan Reza masih di jalan. Widi diantar salah satu rekan kami Meika menggunakan motor, dan reza memilih turun dari damri untuk pindah menggunakan ojek online. Sedikit gambaran, posisi  Bis Budiman yang kami tumpangi berangkat dari terminal Cicaheum akan berhenti di beberapa titik sebelum benar-benar tancap gas meninggalkan kota Bandung. Pemberhentian pertama adalah pool damri GedeBage (Soekarno Hatta). Jalanan yang sangat padat khas jumat sore memaksa bis yang kami gunakan melaju cukup lambat, dan karena itu kami baru bisa tiba di pool damri jam 6 sore kurang. Bertepatan dengan adzan magrib, namun sampai detik itu pun 2 orang rekan kami ini masih belum sampai.

Kembali Samsul dengan raut yang mulai panik menanyakan posisi mereka, Reza masih di jalan dengan memilih membawa motor, dan sang driver menjadi penumpang. Sementara Widi ternyata baru melewati terminal CIcaheum. Bis akan berhenti sebentar di Cileunyi, setelah itu mungkin tinggal lambaikan tangan.

Jalanan masih sangat padat, bahkan Reza yang mencoba menyusul kami menggunakan motor pun belum cukup mampu untuk mengejar. Samsul sempat bertanya, andai mereka berdua tak mampu mengejar bis ini bagaimana?, bagi saya perjalanan harus tetap lanjut, dengan atau tanpa mereka. Menjelang bis tiba di Cileunyi sebuah motor menyalip kami dari kanan, dengan melambaikan tangan ke supir bis bermaksud untuk menghentikan bisnnya. Samsul yang dari awal memilih untuk duduk di depan memastikan kehadiran 2 tim kami, dan ikut meminta supir bis agar melambatkan laju bisnya hingga berhenti. Dengan posisi terburu-buru, nafas terengah-engah, reza mulai naik bis dan duduk bersama kami. Dua ekspresi yang dia suguhkan, di satu sisi meminta maaf, dan sisi lain menahan tawa atas kelakuannya sendiri.

Oiya, Widi sampai kami tiba di Cileunyi pun masih belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sempat terpikirkan pendakian Gunung Sumbing ini mungkin memang akan ditempuh bertiga. Tiba-tiba hp syamsul berdering, widi tenyata masih berusaha mengejar bis yang membawa kami ke Wonosobo. Tepat ketika bis menaikan salah satu penumpangnya di daerah Cicalengka, sebuah motor berhenti. Ternyata memang benar, Widi pun akhirnya mampu untuk menyusul bis dan ikut bersama kami menuju Wonosobo.

Bagian yang menariknya, Meika orang yang mengantarkan Widi sampai Cicalengka harus pulang sendirian, dengan hanya mengenakan kaos dan celana pendek. 26km jarak yang mereka tempuh dari Cicaheum hingga Cicalengka. Waktu menunjukkan jam 8 malam, akhirnya rombongan kami pun sudah lengkap untuk menuju Wonosobo. Di dalam bis selain saling mencaci dan memaki, dalam canda dan tawa, saya menyadari kali ini pesan tanpa drama benar-benar seolah tak bermakna.


Pendakian Gunung Sumbing, tanpa drama (part 1)

0 komentar:

Posting Komentar