Minggu, 25 Oktober 2020

Pendakian Gunung Sumbing, semangat menjaga tawa (part 4)

Matahari sudah benar-benar meninggi, sesaat atau sebentar lagi ia akan berada tepat di atas kepala. Mayoritas para pendaki yang melalui jalur garung di Gunung Sumbing ini akan memilih untuk mendirikan tenda di pos 4 (pestan) atau di pos 5 (pasar watu). Kami sedari awal sudah menentukan akan bermalam dan mendirikan tenda di ujung pestan, dan mendekati jalur menuju pasar watu.

Pendakian ini mungkin yang pertama bagi Samsul dan Widi, jadi secara keputusan baik teknis maupun non teknisnya mereka percayakan pada kami (saya & Reza). Di pos 3 kami hanya beristirahat sebentar, berbagi beberapa tegukan air mineral dan disambung sebatang rokok. Meskipun Samsul dan Widi memilih untuk tidak merokok dulu, karena bagi mereka itu akan membantu proses bernafasnya. Dan tentunya tidak berlaku bagi saya dan Reza.

Mendekati pos 4 Reza memilih untuk berjalan duluan agar bisa memilih dan menentukan posisi dimana tenda akan didirikan. Disusul Samsul yang sudah mulai panas dan menemukan gairah mendakinya, walaupun cukup disayangkan karena hanya beberapa menit lagi sebenarnya kita tiba di area camp.

Hampir tiba di pestan, tepat di bawah areanya ada pohon yang cukup rindang. Dan saya memilih untuk merehatkan badan sejenak disana, membuka sedikit amunisi cemilan dan minuman pelepas dahaga. Tentunya disusul dengan sebatang rokok kreasi sang gudangnya bergaram. Bukan egois menikmati sendirian, mereka pun paham rasanya 12 liter air dipikul seharusnya menjadi pemakluman.

Tak lama berselang Widi pun tiba di titik saya beristirahat, ikut nimbrung dan mulai berani membakar rokoknya. Disusul satu rombongan berisi empat orang, yang secara usia mungkin tak terlalu muda lagi. Satu diantaranya ikut bergabung beristirahat bersama saya dan Widi, yang lainnya ada yang tetap berjalan walau perlahan, dan ada yang memilih beristirahat terpisah.

Dari tampilan serta bahasa saat berdialognya saya yakini mereka ini bukan orang yang baru mendaki gunung. Pengalaman, perlengkapan, dan cerita kebersamaannya memang sudah terjalin dari jauh-jauh hari bahkan saat muda dulu. Dan mereka akan selalu meluangkan waktu setiap tahunnya satu hingga dua kali untuk mendaki bersama.

Sejenak saya terkagum, dengan salah satu cara bagaimana mereka mengelola pertemanan. Saat beberapa orang terbatasi, dan mereka mungkin yang memilih untuk bernegosiasi. Saya kemasi barang untuk menuju titik tenda yang sudah dicari Reza, sambil berujar pada Widi “gue mau naik gunung sampai tua nanti kaya mereka.”

Reza sudah mulai mempersiapkan tenda dan akan membangunnya, ditemani Samsul yang mulai ingin terlihat berguna. Kami membagi porsi untuk membangun tenda dan mengumpulkan serta mengkondisikan barang bawaan. Hingga akhirnya tenda selesai dan siap dipergunakan, sekalipun saya dan Reza masih cukup ragu. Karena area camp pestan ini cukup terbuka dan posisinya ada di punggungan gunung yang menurut kami menjadi jalur angin. Banyak cerita yang beredar bahwa badai di gunung ini cukup luar biasa, namun kami mencoba menyakini beberaa kemungkinan yang kami persiapkan.

Setelah semua selesai kami pilih untuk membuka bekal makan siang kami, Reza sebagai kordinator bekal mulai keluar ide penuh intrik dan estetiknya. Dia membawa kami untuk makan di tengah semak belukar, dalihnya biar lebih menyatu bersama alam bebas. Sesaat kami makan bersama dia memilih untuk selesai lebih dulu, lalu berlari ke arah tenda dan meneriaki kami “woi ngapain makan di semak-semak?” saya yang sudah beres makan menuju tenda melirik Samsul dan Widi yang hampir selesai juga, sepersekian detik saling lirik dan setelahnya segala ujaran kotor mulai bertebaran menhujani Reza.

Waktu kami masih cukup luang untuk menuju malam, sebagian beristirahat di dalam tenda dan ada pula yang beristirahat di atas hammock. Karena yang lebih penting dari itu bagaimana Samsul bisa kami berdayakan, entah sebagai objek penderita dan candaan ataupun dari cerita-cerita konyol tentang kehidupan.

Sore ini angin cukup besar, mengoyangkan pepohonan dan tentunya tenda kami beserta pendaki yang lain. Malam ini nampaknya badai akan datang, dan akan menjadi pertimbangan untuk dini hari nanti tetap melakukan summit atau tidaknya.

 

Jumat, 23 Oktober 2020

Pendakian gunung sumbing, semangat menjaga tawa (part 3)


 Sekitar jam 3 pagi kami tiba di terminal Wonosobo, perjalanan yang lumayan panjang ditambah sedikit bumbu drama. Jam 11 malam sebenarnya bis sempat berhenti untuk beristirahat di Ciamis dan makan malam. Tapi pagi ini urusan perut nampaknya belum tuntas, kami pun memilih untuk beristirahat di salah satu warung di dalam terminal. Sambil menikmati sarapan yang sejujurnya kepagian, dan menunggu subuh serta angkutan yang akan membawa kami ke basecamp garung, Gunung Sumbing.

Urusan perut selesai, subuh sudah dilaksanakan, segala perlengkapan logistik sudah kami penuhi. Jam 5 lebih kami mulai menaiki bis kecil dari terminal ini menuju basecamp. Udara masih sangat dingin, pemandangan sepanjang jalan cukup indah khas suasana daerah kaki gunung. Jalan yang kami lewati adalah jalan yang sama untuk menuju basecamp kledung (Gunung Sindoro).

Sekitar 20 menit kami lewati jalanan bersama bis kecil itu, akhirnya kami tiba di pinggir jalan. Untuk menuju basecamp setidaknya kami masih harus berjalan kaki beberapa ratus meter. Tak lupa kami mampir di sebuah warung nasi, untuk menyiapkan bekal makan siang kami setibanya di area camp nanti.

Di basecamp garung kami selesaikan urusan simaksi dan registrasi, Samsul yang paling muda kami percayakan untuk mengurusnya. Selain untuk belajar, di sisi lain untuk pengalaman dia, dan yang lebih penting biar dia lebih berguna bagi kehidupan kami HAHAHAHA.

Kami melanjutkan persiapan dengan mengecek perlengkapan dan packing ulang carrier masing-masing, memastikan barang yang dibawa dan segala keperluan sebelum memulai pendakian. Terutama urusan setor tunai, perut kami setiap pagi seolah sudah memberi jadwal agar dituntaskan. Perjalanan hingga kami tiba di basecamp sebenarnya seperti perjalanan mereka pada umumnya. Ada sedikit drama, dibalut canda, ada saling ejek dan sindiran, termasuk saling tertawa dan menertawakan.

Dari basecamp menuju pos 1 kami memilih menggunakan ojek, dengan pertimbangan memangkas waktu dan memberdayakan ojek setempat, setidaknya dengan itu kami mencoba untuk ikut serta menghidupkan ekonomi masyarakat kaki Gunung Sumbing. Sebuah dalih di balik maksud menghemat tenaga dan rasa malas, hahaha.

Memulai pendakain dengan berdoa dipimpin oleh tuan muda Samsul, pertanda kami akan melangkah memulai pendakian ini. Sesaat sebelum kami menaiki ojek-ojek yang siap mengantarkan kami ke pos 1, Reza menitipkan sebuah pesan, “tawa yang kita nikmati sampai sekarang, harus dijaga hingga tiba di puncak, sampai pulang ke basecamp, dan saat nanti kembali ke rumah!”

Teman-teman yang sudah pernah menggunakan ojek dari basecamp garung ke pos 1 pasti tau, bahwa posisi kita saat naik ojeknya adalah duduk di depan, sedangkan carrier kita akan di simpan di belakang di gendong bapak ojeknya. Dengan motor khas yang sebenarnya bukan pasangannya untuk di pakai ke gunung, motor melewati jalur menanjak dan berbatu, dan di beberapa titik jantung kita serasa lebih hidup di pacu adrenalin. Semakin atas jalan pun semakin menyempit, jalan bebatuan mulai berganti menjadi tanah, tanjakan terakhir membawa kami ke suatu lokasi, tempat dengan pondokan dan warung, menandakan kami sudah tiba di pos 1.

Jam setengah 9 pagi kami mulai menapakkan kaki untuk menelusuri jalur setapak, harapannya tak terlalu sore untuk kami tiba di pos 4. Rencananya di pos  4 lah kami akan mendirikan tenda dan bermalam di sana.   

Jalur pendakian Gunung Sumbing via Garung adalah jalur yang sudah cukup terkenal dikalangan pendaki, selain secara akses dari jalan raya yang tidak terlalu jauh, jalur ini pun cukup jelas untuk mengarahkan kita ke puncak gunung.

Setengah jam berjalan Samsul mulai berulah, dia merasa kepanasan karena celana panjang yang digunakan bahannya mungkin kurang sesuai untuk dipakai mendaki. Terlebih matahari saat itu sangat bersahabat, menjadikan jalur pendakian cukup berdebu dan lebih menguras fisik dan memudahkan kita untuk merasa kehausan.

Samsul memilih untuk mengganti celananya dengan celana pendek, dengan harapan sirkulasi udara akan lebih membuatnya nyaman. Beberapa kali langkah kakinya tertinggal oleh kami bertiga, hingga di istirahat berikutnya dia memilih untuk berjalan duluan dari kami dan mengikuti rombongan lain. Dengan harapan akan mendapatkan waktu lebih lama untuk beristirahat di pos selanjutnya.

Sekitar jam 3 pagi kami tiba di terminal Wonosobo, perjalanan yang lumayan panjang ditambah sedikit bumbu drama. Jam 11 malam sebenarnya bis sempat berhenti untuk beristirahat di Ciamis dan makan malam. Tapi pagi ini urusan perut nampaknya belum tuntas, kami pun memilih untuk beristirahat di salah satu warung di dalam terminal. Sambil menikmati sarapan yang sejujurnya kepagian, dan menunggu subuh serta angkutan yang akan membawa kami ke basecamp garung, Gunung Sumbing.

Urusan perut selesai, subuh sudah dilaksanakan, segala perlengkapan logistik sudah kami penuhi. Jam 5 lebih kami mulai menaiki bis kecil dari terminal ini menuju basecamp. Udara masih sangat dingin, pemandangan sepanjang jalan cukup indah khas suasana daerah kaki gunung. Jalan yang kami lewati adalah jalan yang sama untuk menuju basecamp kledung (Gunung Sindoro).

Sekitar 20 menit kami lewati jalanan bersama bis kecil itu, akhirnya kami tiba di pinggir jalan. Untuk menuju basecamp setidaknya kami masih harus berjalan kaki beberapa ratus meter. Tak lupa kami mampir di sebuah warung nasi, untuk menyiapkan bekal makan siang kami setibanya di area camp nanti.

Di basecamp garung kami selesaikan urusan simaksi dan registrasi, Samsul yang paling muda kami percayakan untuk mengurusnya. Selain untuk belajar, di sisi lain untuk pengalaman dia, dan yang lebih penting biar dia lebih berguna bagi kehidupan kami HAHAHAHA.

Kami melanjutkan persiapan dengan mengecek perlengkapan dan packing ulang carrier masing-masing, memastikan barang yang dibawa dan segala keperluan sebelum memulai pendakian. Terutama urusan setor tunai, perut kami setiap pagi seolah sudah memberi jadwal agar dituntaskan. Perjalanan hingga kami tiba di basecamp sebenarnya seperti perjalanan mereka pada umumnya. Ada sedikit drama, dibalut canda, ada saling ejek dan sindiran, termasuk saling tertawa dan menertawakan.

Dari basecamp menuju pos 1 kami memilih menggunakan ojek, dengan pertimbangan memangkas waktu dan memberdayakan ojek setempat, setidaknya dengan itu kami mencoba untuk ikut serta menghidupkan ekonomi masyarakat kaki Gunung Sumbing. Sebuah dalih di balik maksud menghemat tenaga dan rasa malas, hahaha.

Memulai pendakain dengan berdoa dipimpin oleh tuan muda Samsul, pertanda kami akan melangkah memulai pendakian ini. Sesaat sebelum kami menaiki ojek-ojek yang siap mengantarkan kami ke pos 1, Reza menitipkan sebuah pesan, “tawa yang kita nikmati sampai sekarang, harus dijaga hingga tiba di puncak, sampai pulang ke basecamp, dan saat nanti kembali ke rumah!”

Teman-teman yang sudah pernah menggunakan ojek dari basecamp garung ke pos 1 pasti tau, bahwa posisi kita saat naik ojeknya adalah duduk di depan, sedangkan carrier kita akan di simpan di belakang di gendong bapak ojeknya. Dengan motor khas yang sebenarnya bukan pasangannya untuk di pakai ke gunung, motor melewati jalur menanjak dan berbatu, dan di beberapa titik jantung kita serasa lebih hidup di pacu adrenalin. Semakin atas jalan pun semakin menyempit, jalan bebatuan mulai berganti menjadi tanah, tanjakan terakhir membawa kami ke suatu lokasi, tempat dengan pondokan dan warung, menandakan kami sudah tiba di pos 1.

Jam setengah 9 pagi kami mulai menapakkan kaki untuk menelusuri jalur setapak, harapannya tak terlalu sore untuk kami tiba di pos 4. Rencananya di pos  4 lah kami akan mendirikan tenda dan bermalam di sana.   

Jalur pendakian Gunung Sumbing via Garung adalah jalur yang sudah cukup terkenal dikalangan pendaki, selain secara akses dari jalan raya yang tidak terlalu jauh, jalur ini pun cukup jelas untuk mengarahkan kita ke puncak gunung.

Setengah jam berjalan Samsul mulai berulah, dia merasa kepanasan karena celana panjang yang digunakan bahannya mungkin kurang sesuai untuk dipakai mendaki. Terlebih matahari saat itu sangat bersahabat, menjadikan jalur pendakian cukup berdebu dan lebih menguras fisik dan memudahkan kita untuk merasa kehausan.

Samsul memilih untuk mengganti celananya dengan celana pendek, dengan harapan sirkulasi udara akan lebih membuatnya nyaman. Beberapa kali langkah kakinya tertinggal oleh kami bertiga, hingga di istirahat berikutnya dia memilih untuk berjalan duluan dari kami dan mengikuti rombongan lain. Dengan harapan akan mendapatkan waktu lebih lama untuk beristirahat di pos selanjutnya.

Rabu, 21 Oktober 2020

Tips memilih jasa open trip ke gunung

 

Seiring berkembangnya tren pendakian gunung yang semakin digemari banyak orang, berkembang pula lini bisnis baik produk maupun jasa yang berhubungan dengan pendakian gunung. Salah satunya penyedia jasa open trip, sebuah bidang usaha yang menyediakan jasa pengelolaan trip atau perjalanan ke gunung.

Sebagian orang mungkin masih bingung memilih open trip yang terpercaya dan berkompenten untuk mengakomodir perjalanannya. Karena terkadang ada beberapa pengalaman orang-orang yang merasa kecewa dengan suatu penyelenggara open trip ke gunung.

Referensi memilih penyedia jasa open trip :

1.  Siapa penyelenggaranya ?

Kita perlu tahu siapa yang menyelenggarakan atau menyediakan jasa open tripnya, dengan hal itu  kita bisa mencari tahu tentang nama tersebut baik dari internet atau bertanya pada beberapa orang maupun grup pendakian gunung (facebook, kaskus, dan lain-lain).

Lebih bagus lagi kalau kita tahu siapa pemiliknya, karena background pemilik biasanya akan terwakilkan pada brand yang mereka miliki. Orang-orang yang berpengalaman dan menggemari kegiatan mendaki gunung, seharusnya akan lebih mengerti bagaimana baik dan buruknya mengakomodir serta memperlakukan peserta dalam ruang lingkup aktifitas pendakian gunung.

 2. History atau pengalamannya

Alangkah baiknya ketika memilih open trip carilah yang berpengalaman, dari situ akan kita temukan track record dari jasa yang mungkin telah dikonsumsi beberapa atau banyak orang. kita bisa mencoba menerka kemungkinan atau kecocokan kita dari pengalaman yang telah orang-orang rasakan. Meskipun tidak menutup kemungkinan, ada penyedia jasa baru yang berkompeten pula dan bisa dijadikan pertimbangan.

3.  Harga dan fasilitas

Harga akan berpengaruh dengan fasilitas yang ditawarkan, pada umumnya open trip akan menawarkan fasilitas yang membantu dan mengurangi beban kita saat akan dan melakukan pendakian gunung. 

Bukan hal yang salah membandingkan harga antara satu penyedia jasa dengan yang lainnya, selama menjaga etika pula di dalamnya. Hal itu agar menjadi ukuran kita tentang kewajaran suatu harga, yang seharusnya berbanding lurus dengan fasilitas yang ditawarkan.

4.    Guide dan porter

Guide atau pemandu menjadi salah satu hal yang harus dipertimbangkan, baiknya memilih penyedia jasa yang pemandunya sudah bersertifikat. Karena menjadi pemandu bukan sekedar tentang bisa dan pernah naik gunung, tapi ada hal-hal lain yang berhubungan dengan peserta termasuk keselamatan dan kenyamanan dalam satu perjalanan.  

Untuk porter kadang memang cukup sulit mencari tahu, tapi sekedar menjadi pertimbangan baiknya pilihlah penyedia jasa yang menggunakan porter dari masyarakat lokal atau basecamp pendakian. Harapannya selain menikmati aktifitas mendaki gunung, di sisi lain kita ikut serta membantu ekonomi masyarakat setempat.

5.       Kantor atau basecamp

Alangkah baiknya saat memilih penyedia jasa open trip pilih mereka yang memiliki kantor atau setidaknya basecamp, hal tersebut agar kita lebih tenang ketika bertransaksi dengan bisnis yang memiliki alamat jelas. Atau menjadi nilai lebih saat ada masalah atau kendala untuk kita temukan informasi maupun keterangan.

 6.       Rundown atau jadwal pendakian

Durasi dan jadwal menjadi bahan pertimbangan lain, agar kita bisa menyesuaikan antara kemampuan baik fisik maupun waktu dengan jadwal yang mereka sediakan. Setidaknya kita memiliki pegangan jelas untuk di awal, untuk menyesuaikan jadwal jika harus cuti maupun untuk menyesuaikan fisik untuk beberapa gunung.

 7.       Surat perjanjian

Hal ini menurut saya adalah bagian cukup penting, karena di dalamnya berisi kesepakatan. Entah tentang pembayaran atau pun hal lainnya. Setidaknya ada poin-poin kesepakatan yang bisa menjadi pegangan. Terlebih mendaki gunung adalah salah satu olahraga yang berbahaya, yang berhubungan dengan cuaca dan kondisi alam.

 8.       Asuransi

Poin terakhir ini memang belum semua penyedia jasa menawarkan asuransi pada perjalanannya, namun bisa dijadikan salah satu pertimbangan saat kita mencari atau memilih penyelanggara open trip.

Di luar hal-hal yang disampaikan di atas mungkin masih ada pertimbangan lain, yang menjadi acuan atau saran saat akan memilih penyedia jasa open trip ke gunung. Namun, di balik ramainya daya tawar yang disampaikan beberapa pihak tentang open tripnya. Kita harus lebih bijak saat memilih, karena hal itu akan sangat membantu untuk memilimalisir resiko pada perjalanannya maupun mengurangi kemungkinan rasa kecewanya.

Dan satu hal penting lainnya, dengan atau tanpa ikut open trip pastikan pendakian kita tetap mengingat atau peduli terhadap kelestarian gunung itu sendiri. Untuk membantu dan mengupayakan meminimalisir resiko kerusakan gunungnya.

Selamat mendaki gunung,

Jaga diri, jaga sesama.

Saling menjaga beserta lingkungannya.

Senin, 19 Oktober 2020

Open trip pendakian gunung, dua sisi di tengah tren mendaki yang meningkat.

Pendakian gunung hari ini memang cukup ramai dan digemari banyak kalangan, cukup berbeda pula ketika kita bandingkan dengan 10 tahun yang lalu atau sebelum 2010. Setidaknya belakangan atau sebelum pandemi ini gunung sangat ramai dikunjungi, apalagi ketika akhir pekan, long weekend, dan saat musim liburan terlebih tahun baru.

Seiring berkembangnya tren mendaki gunung, berkembang pula sisi-sisi lain yang ikut berkembang di dalamnya. Salah satu yang cukup mencolok adanya open trip ke gunung, hal ini mungkin bukan hal yang seutuhnya baru. Bicara dulu pun mungkin sudah ada, dengan kemasan yang lebih sederhana. Misal beberapa orang berpatungan untuk minta diurus atau diakomodir segala urusan teknis untuk mendaki. Termasuk menyediakan pemandu dan porter untuk membantu melengkapi proses pendakiannya.

Dua sisi

Open trip mendaki gunung menyajikan dua sisi pandangan, tentang positif dan negatif bagi pendakinya maupun tentang baik dan buruknya bagi gunung itu sendiri. Ada yang berpendapat, bahwa open trip ke gunung sama saja dengan memfasilitasi pendakian gunung secara masal. Memberikan kemungkinan bahwa sampah yang tersisa akan menjadi lebih banyak. Belum lagi beberapa open trip yang terkadang kurang peduli terhadap gunungnya sendiri, lebih mementingkan pendapatan dan perputaran bisnis di dalamnya.

Ada pula open trip yang kurang peduli terhadap pesertanya, baik dari keselamatan maupun kenyamanannya. Ada open trip yang berani melepaskan pesertanya untuk summit tanpa didampingi, padahal bisa saja dirombongannya tersebut ada yang baru pertama kali mendaki. Ada pula yang cukup acuh tentang urusan kesehatan dan perut pesertanya, serta beberapa kabar lain yang kurang menyenangkan untuk didengar tentang open trip mendaki gunung.

Tapi di sisi lain open trip mendaki gunung menawarkan hal yang cukup positif, ada beberapa orang yang ingin memulai untuk mencoba mendaki dan tidak ada rekan untuk menemani. Open trip bisa jadi salah satu ruang yang cukup ideal, untuk menjadi solusi bagi mereka yang ingin mencoba.

Dalam contoh lain ada beberapa gunung yang mungkin cukup sulit untuk dijangkau, baik secara akses maupun budget. Dan open trip di posisi itu bisa menjadi solusi juga, untuk menjadi pilihan menuju beberapa gunung. Dan yang mungkin saja terjadi, ada beberapa orang yang sudah biasa mendaki gunung dan ingin mencoba suasana atau kemasan lain. Mendaki gunung dengan orang -orang yang tidak dikenal, difasilitasi dan diakomodir, serta hal-hal lain yang menjadi daya tawar menarik dari open trip itu sendiri.

Beberapa orang setuju dengan adanya open trip ke gunung, dan mungkin ada pula yang kurang atau tidak setuju atas itu. Namun faktanya hari ini, open tripnya ada dan pihak pengelola basecampnya mengizinkan. Tinggal bagaimana kita saling menyikapi fenomena yang terjadi di dalamnya, bagi yang tertarik mendaki gunung dengan ikut open trip pandai-pandailah memilih penyelenggara tripnya.

Dan satu hal yang disadari, open trip pendakian gunung sebenarnya bisa menjadi pintu yang dapat dimaksimalkan. Untuk mengenalkan dan menjadi media untuk mengedukasi ragam hal yang berhubungan dengan mendaki gunung, baik itu teknis maupun non teknisnya. Menjadi wadah untuk menunjukan kepedulian terhadap gunungnya maupun pada aktifitas mendakinya

Tertarik atau tidaknya ikut open trip pendakian gunung adalah pilihan, seperti halnya kemasan yang dipilih orang-orang untuk mendaki gunung. Karena yang lebih penting dari itu adalah keselamatan pribadinya, dan tentunya meminimalisir kerusakan gunung itu sendiri.


(tips memilih open trip pendakian gunung)

 

 


Kamis, 15 Oktober 2020

Pendakian Gunung Sumbing, tanpa drama (part 2)

 

Gunung Sumbing

Terminal

Jumat, sore ini kami berkumpul di terminal Cicaheum, Bandung. Seperti kesepakatan yang telah kami sepakati di beberapa malam sebelumnya, kami akan berkumpul di terminal ini setengah 5 sore. Karena bis akan mulai berangkat jam 5 sore.

Jam 4 lebih 15 menit saya berangkat dari kantor, ceritanya nebeng karena beberapa karyawan ada yang pulang melewati terminal ini. Sekitar setengah 5 sore kurang beberapa menit saya tiba di lokasi, tak lama dari itu Samsul pun sudah menyusul ke dalam terminal. Pertanyaan yang sama saling terlontar, “mana yang lain?”

Berhubung masih setengah 5, kami masih cukup santai untuk menunggu kehadiran 2 rekan kami lainnya. Sesekali kami coba chat lewat whatsapp bahkan telp, seruannya masih sama, “di jalan!” hal ini yang dari awal mendasari saya kenapa perjalanan ini tak ingin ada drama di dalamnya. Karena satu keterlambatan, akan merembet merepotkan yang lainnya.

Bis pun berangkat jam 5 sore lebih sedikit, kabar terakhir Widi dan Reza masih di jalan. Widi diantar salah satu rekan kami Meika menggunakan motor, dan reza memilih turun dari damri untuk pindah menggunakan ojek online. Sedikit gambaran, posisi  Bis Budiman yang kami tumpangi berangkat dari terminal Cicaheum akan berhenti di beberapa titik sebelum benar-benar tancap gas meninggalkan kota Bandung. Pemberhentian pertama adalah pool damri GedeBage (Soekarno Hatta). Jalanan yang sangat padat khas jumat sore memaksa bis yang kami gunakan melaju cukup lambat, dan karena itu kami baru bisa tiba di pool damri jam 6 sore kurang. Bertepatan dengan adzan magrib, namun sampai detik itu pun 2 orang rekan kami ini masih belum sampai.

Kembali Samsul dengan raut yang mulai panik menanyakan posisi mereka, Reza masih di jalan dengan memilih membawa motor, dan sang driver menjadi penumpang. Sementara Widi ternyata baru melewati terminal CIcaheum. Bis akan berhenti sebentar di Cileunyi, setelah itu mungkin tinggal lambaikan tangan.

Jalanan masih sangat padat, bahkan Reza yang mencoba menyusul kami menggunakan motor pun belum cukup mampu untuk mengejar. Samsul sempat bertanya, andai mereka berdua tak mampu mengejar bis ini bagaimana?, bagi saya perjalanan harus tetap lanjut, dengan atau tanpa mereka. Menjelang bis tiba di Cileunyi sebuah motor menyalip kami dari kanan, dengan melambaikan tangan ke supir bis bermaksud untuk menghentikan bisnnya. Samsul yang dari awal memilih untuk duduk di depan memastikan kehadiran 2 tim kami, dan ikut meminta supir bis agar melambatkan laju bisnya hingga berhenti. Dengan posisi terburu-buru, nafas terengah-engah, reza mulai naik bis dan duduk bersama kami. Dua ekspresi yang dia suguhkan, di satu sisi meminta maaf, dan sisi lain menahan tawa atas kelakuannya sendiri.

Oiya, Widi sampai kami tiba di Cileunyi pun masih belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sempat terpikirkan pendakian Gunung Sumbing ini mungkin memang akan ditempuh bertiga. Tiba-tiba hp syamsul berdering, widi tenyata masih berusaha mengejar bis yang membawa kami ke Wonosobo. Tepat ketika bis menaikan salah satu penumpangnya di daerah Cicalengka, sebuah motor berhenti. Ternyata memang benar, Widi pun akhirnya mampu untuk menyusul bis dan ikut bersama kami menuju Wonosobo.

Bagian yang menariknya, Meika orang yang mengantarkan Widi sampai Cicalengka harus pulang sendirian, dengan hanya mengenakan kaos dan celana pendek. 26km jarak yang mereka tempuh dari Cicaheum hingga Cicalengka. Waktu menunjukkan jam 8 malam, akhirnya rombongan kami pun sudah lengkap untuk menuju Wonosobo. Di dalam bis selain saling mencaci dan memaki, dalam canda dan tawa, saya menyadari kali ini pesan tanpa drama benar-benar seolah tak bermakna.


Pendakian Gunung Sumbing, tanpa drama (part 1)

Senin, 12 Oktober 2020

Pendakian Gunung Sumbing, tanpa drama (part 1)

 

Gerimis hujan membasahi kota Bandung malam itu. Senin, 11 September 2017 sekitar jam 7 malam di sebuah coffee shop bersama segelas americano saya tunggu kehadiran tiga rekan yang akan menemani pendakian gunung. Ya, beberapa minggu lalu terpikirkan untuk mendaki Gunung Sumbing, setelah oktober setahun sebelumnya mendaki Gunung Sindoro dan sepanjang jalur dihadapkan dengan megahnya Gunung Sumbing.

Samsul menjadi orang yang pertama datang menghampiri saya, seorang mahasiswa yang terlalu sibuk ikut campur urusan nongkrong bersama kami yang sudah berbeda secara prioritasnya. Tak lama berselang Reza datang, salah satu rekan yang hampir selalu menemani pendakian gunung saya.

Canda menjadi penghias malam, tentunya menjadikan Samsul sebagai objek penderita adalah kenikmatan hahaha. Berbagi beberapa cerita, tentang Gunung Sumbing yang saya dapatkan dari menelusuri blog orang lain dan dari cerita beberapa orang yang saya tanyakan.

Menjelang jam 8 malam Widi pun tiba, orang terakhir yang akan bergabung dalam pendakian kali ini. briefing sederhana kami lakukan, beberapa pertimbangan kami diskusikan. Tentang jalur yang akan dilewati, transportasi yang digunakan, termasuk tentang perlengkapan pribadi maupun tim yang akan dibagi. Oiya, tak lupa yang tak kalah penting adalah urusan budget yang disepakati hahaha.

Tak terlalu lama urusan briefing diselesaikan, karena yang penting alur dan topik inti yang harus sama-sama dipahami dan dimengerti. Bukankah mendaki gunung butuh bekal wawasan dan pengetahuan juga ? Terlebih bagi Samsul dan Widi mungkin ini kali pertama mereka mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Jadi ada beberpa hal yang harus dimengerti, entah tentang persiapan sebelumnya, pelaksanaanya, maupun setelahnya.

Kami sepakat untuk mendaki Gunung Sumbing via Garung (Wonosobo), berangkat menggunakan bus Budiman dari terminal Cicaheum hari jumat 15 september nanti. Dari perhitungan kami bus akan berangkat jam 5 sore, dan akan sampai di Wonosobo mungkin sebelum subuh.

Pembagian porsi dan peran sudah dibagi, termasuk perlengkapan tim yang harus dipenuhi. Menutup pertemuan malam itu dengan canda dan tawa yang saling melempari. Sebelum kami tinggalkan coffee shop itu saya titipkan, “pendakian gunung ini gue ga mau ada drama!”

 

Bersambung,

Pendakian Gunung Sumbing, tanpa drama (part 2)


Senin, 05 Oktober 2020

Gunung Prau definisi indah tak harus meninggi

Ketinggian kadang diidentikkan dengan dengan keindahan, semakin tinggi semakin banyak hal indah yang ditemui. Hal itu tidaklah salah, karena memang benar adanya, ketinggian seolah menyajikan dan menyuguhkan  sisi lain makna keindahan.


Tapi Prau seolah membuktikan, bahwa untuk bisa menyajikan keindahan, tak selalu harus dalam kondisi yang tinggi. Karena faktanya, ketinggian bukan untuk diadu.






Dengan ketinggian yang dimiliki Prau, seolah ia menujukkan bahwa setiap gunung entah tingginya berapa, dan aksesnya seperti apa. Setiap gunung memiliki karakter dan keunikannya masing - masing, sebuah hal yang belum tentu bisa dipukul rata untuk ditemukan di semua gunung.


Selayaknya manusia, unik dan berkarakter adalah bagian nyata sisi seorang manusia. Tapi tidak bisa disama ratakan dengan satu indikator, karena ragam dan rupawan, masing - masing punya kendali dan naluri.


Banyak hal yang tidak dimiliki dan tidak tidak kita temui saat berkunjung ke gunung Prau, dan mungkin kita temukan di gunung lain,  pun sebaliknya.


Prau identik dan otentik atas indahnya saat matahari terbit. Seolah itu yang menjadi sisi menarik Prau, dan menggugah banyak selera untuk mengunjunginya.


Selera dan ketertarikan mungkin kembali tak bisa diseragamkan, seolah panggilan dan daya tarik tersendiri bagi masing - masing pribadinya.


Seperti menarik dan ragam kesan cantiknya Prau, bisa saja ada sebagian orang yang mengakuinya, tapi enggan dan sungkan mengunjunginya.


Dengan daya tarik yang kuat dan memancing banyak minat orang untuk mengunjunginya, seharusnya banyak pula yang ikut serta menjaganya. 


Karena jika hanya kita yang menikmatinya, tidakkah terlalu egois untuk tidak membaginya? Tak terlalu penting tentang banyaknya, minimal untuk anak dan cucu kita, agar cantiknya Prau tak tinggal cerita.