Badai yang kami prediksi saat sore benar saja terjadi. Angin
begitu kencang menerpa tenda kami, dan beberapa frame tenda dengan terpaksa
harus kami longgarkan agar tidak patah. Sebelumnya kami mencoba untuk
memperbaiki dan menguatkan pasak sebagai penyangga, namun ternyata terlalu
beresiko. Syamsul malam itu bertugas untuk membuat puding, yang akan menjadi
salah satu bekal kami di puncak nanti.
Malam ini kami putuskan untuk bermalam dengan kondisi tenda yang cukup rendah. Layer tenda bagian dalam pun kami relakan untuk sangat berdekatan dengan muka. Suhu udara di luar sebenarnya tidak terlalu dingin, namun anginnya yang kami rasa cukup menyiksa. Bersama tenda yang terus bergoyang karena terpaan angin, kami menutup mata sebelum dini hari nanti melakukan summit.
......
Satu persatu alarm handphone berbunyi, jam tangan digital menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh. Ya, memang kami menjadwalkan untuk mendaki ke puncak di jam tiga dini hari. Setengah jam kami persiapkan untuk mempersiapkan kebutuhan dan perbekalan di puncak nanti.
Badai semalam mulai mereda, saat keluar tenda angin kencang
berganti menjadi dingin. Masing – masing dari kami sudah berada di luar tenda,
lengkap dengan jaket tebal, head lamp, dan celana panjang. Semua perbekalan
kami satukan di satu tas, air mineral, makanan ringan, dan tentunya puding yang
tadi malam Syamsul buat. Jam tiga lebih enam menit kami memulai pendakian ke
puncak dengan berdoa bersama, dan Syamsul pula yang memimpin do’a di rombongan
kami.
Perlahan kami memulai langkah, Reza di bagian depan memimpin
diikuti Syamsul, Widi lalu saya. Tas perbekalan kami pilih untuk dibawa
bergantian, dan Reza menjadi orang pertama yang menggendongnya. Jalur pasir di
awal yang kami lalui, diantara langit terang dan lampu – lampu tenda kami mulai
menjauhi area camp.
Pasir yang kami lalui cukup padat, namun cukup licin pula
untuk dijadikan tumpuan. Sesekali kaki harus sedikit merosot untuk menemukan
tumpuan yang kokoh. Jalur pasir yang kami lalui berganti menjadi kumpulan batu
yang tersebar berserakan. Untuk kaki cukup menyenangkan karena menumpu dengan
kuat, namun terkadang paha harus melangkah lebih tinggi untuk mendapatkan tumpuan selanjutnya. Sesekali kami memilih
beristirahat di balik batu besar, yang besarnya cukup untuk menahan angin agar
tidak langsung menerpa badan kami. Rasa lelah dan nafas yang mulai terengah –
engah kami salurkan jadi sebuah bentuk candaan. Seperti pesan Reza tentang
‘semangat menjaga tawa'.
Kami melanjutkan perjalanan ke puncak, di jalur yang kami
lewati batu semakin besar dan menumpuk. Di titik ini kami menemukan satu tenda
yang didirikan dibalik tebing batu besar yang berdiri tinggi menjulang. Tak
jauh setelah melewati tenda Syamsul meminta istirahat, ada yang berteriak dari
dalam perutnya dan minta dituntaskan. Di jalur menanjak yang sudah berganti
menjadi tanah yang tertutup rumput kami beristirahat dan Syamsul sibuk mencari
tempat persembunyiannya untuk mengeluarkan beban dalam perutnya. Dilengkapi
pisau lipat dan tisu basah yang akan menjadi perlengkapan ritualnya.
Sesekali kami bersahutan lewat teriakkan, selain memastikan
keberadaan Syamsul juga untuk menjadi bahan candaan lagi dan lagi. Lebih dari
15 menit waktu yang dia habiskan untuk melakukan ritual di semak - semak, keluar
dari sana dengan penuh tawa dan muka bahagia karena urusan perut sudah
dituntaskan.
Kembali kami melanjutkan perjalanan ke puncak gunung
sumbing, jam pun sudah menunjukan pukul 5
kurang. Jalan yang didominasi tanah dengan bebatuan kecil menjadi teman bagi
pijakan kami. Hingga menemukan satu pertigaan kami pilih ke sebelah kiri atau
timur untuk mendekati kemungkinan arah matahari terbit.
Vegetasi yang kami lewati menuntun langkah pada langit yang
terbuka. Menanjak dengan belokan tajam mengarahkan kami pada medan tumpukan
batu. Dan di bagian atasnya ketika kami sampai adalah ruang terbuka. Di hadapan
kami seperti kaldera luas yang tersaji, dan dibagian timur langit mulai
menunjukkan warna orange. Tidak lama lagi matahari akan terbit.
Waktu menunjukan pukul lima lebih dua puluh delapan, masing
– masing dari kami mencari posisi untuk menunaikan shalat subuh.
Matahari pun akhirnya terbit dari arah timur, memancarkan
cahaya terang perpaduan antara orange dan kuning. Kami terduduk di beberapa
bagian batu besar menghadap matahari, sepersekian detik terdiam lalu tertawa
dan berpelukan seperti teletubbies hahaha.
Syamsul tertawa kegirangan, disambut Widi yang sama – sama
merupakan pencapaian baru untuk keduanya. Selebihnya kami habiskan waktu untuk
kembali bercanda di puncak ini. Sejenak menengok ke arah kemungkinan basecamp
berada, sedikit membayangkan kemarin pagi kami memulai langkah demi langkah
hingga pagi ini tiba di puncak.
Setelah puas menikmati matahari terbit dan mengabadikan
momen, kami sedikit turun ke celah batu, membuka perbekalan dan mulai
menikmatinya. Termasuk puding buatan Syamsul tadi malam.
Menjelang jam 7 pagi kami berjalan sedikit melipir menuju
plang puncak Gunung Sumbing berdiri. Mengabadikan beberapa momen disana lalu
kami memilih untuk turun. Karena dengan turun lebih cepat akan memberikan
banyak waktu bagi kami untuk menikmati waktu sekitar tenda.








